Sunday, August 2, 2009

HARMONI PENDIDIKAN AKAL BUDI

SOLUSI NYATA MENCERDASKAN BANGSA



Dunia pendidikan kita sedang edan-edanan, demikian yang saya rasakan. Maksudnya terjadi gebrakan yang luar biasa di arus isu yang tidak mengenakkan (baca: hujatan) yang dahsyat pula. Dihujat dulu baru bangkit, atau kenyataan memang tidak sesuai dengan harapan sehingga menuai kecaman. Mengapa ada pihak yang harus mengecam? Begitu parahkah? Daripada mengecam, tidakkah lebih baik duduk berunding satu meja untuk mencari akar permasalahan yang nantinya diselesaikan bersama. Mungkinkah? Atau keduanya memang kubu yang berbeda sehingga sulit untuk melangkah bersama.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional).
John C. Bock dalam buku Education and Development: A Conflik Meianing (1992) menyatakan peran pendidikan antara lain: a) memasyarakatkan idiologi dan nilai-nilai sosial kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, c) meratakan kesempatan dan pendapatan.
Hebat bukan, yang namanya pendidikan? Namun fakta menunjukkan, gayung belum bersambut, bahkan sering berseberangan. Merebaknya tawuran antar pelajar, pelajar melakukan tindak kriminal, juga asusila telah terbiasa menjadi santapan di media massa. Salah siapa? Pelajar itu sendiri, keluarga, guru, atau masyarakat, termasuk media massa, atau semuanya ikut andil terlibat? Siapa yang harus bertanggung jawab?
Permasalahannya memang kompleks, sekompleks kehidupan di dunia ini. Jaman sudah maju, tiada lagi tabir yang harus disibak untuk mengetahui segala sesuatu. Orangtua mengajarkan baik-baik (tidak ada kan yang mengajarkan tidak baik), belum sampai anak keluar dari rumah sudah berbagai macam masukan melingkupi, bisa juga mencengkeram perkembangan kepribadian dan mentalnya. Berita dan foto di surat kabar/tabloid yang hanya mengejar laku jual, tayangan di televisi yang sekedar mencari rating tinggi, atau akses internet yang tanpa lembaga sensor-- yang ada saja bisa kebobolan, apa lagi yang tidak – sering menjadi tuntunan, padahal hanya sekedar tontonan.
Jika tanpa bekal yang kuat dan mantap dari keluarga, di kala anak mulai bergaul dengan lingkungan semakin beragam pula tuntunan atau tontonan baru, stimulus baru, yang mau tidak mau anak akan meresponnya. Respon pisitif atau negatif sangat berpengaruh pada kehidupan, tidak hanya anak itu sendiri, melainkan juga keluarga, masyarakat, bahkan lebih luas bangsa dan negara. Maka tidak heran bila baik dan buruknya suatu negara tergantung generasi mudanya.
Itu masalah moral. Di dunia kerja juga tidak jauh berbeda. Walaupun sumber daya manusia Indonesia masih kalah dibandingkan dengan banyak negara , namun kesadaran pendidikan sudah lumayan. Terbukti banyak sekolah dan perguruan tinggi dibuka banyak pula peminatnya, bahkan untuk sekolah atau kuliah di tempat favorit yang diinginkan ada yang rela membayar mahal. Setiap tahun lembaga-lembaga tersebut juga menghasilkan lulusan yang tidak sedikit sehingga angka tenaga kerja semakin bertambah. Dengan demikian persaingan semakin ketat, satu lowongan diperebutkan ratusan mungkin juga ribuan pelamar.
Anehnya tenaga kerja yang membludak tersebut tidak disertai dengan kemampuan yang memadai. Banyak yang masih canggung untuk bekerja, seakan-akan ilmu yang didapat di bangku sekolah/kuliah tidak relevan dengan tuntutan pekerjaan.
Prijono Tjiptoherijanto pernah mengadakan penelitian yang menggambarkan tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Hasil penelitian tersebut juga menegaskan bahwa pada era bersaing nanti tidak ada jaminan bangsa Indonesia akan memenangkannya. Dan bila kemampuan bersaing secara sehat tidak dimiliki, maka alternatif satu-satunya yang mungkin dapat dimanfaatkan adalah menggunakan model persaingan yang tidak sehat (Suyanto, Abbas, 2001).
Kasus ini telah menjadi kenyataan. Setiap ada lowongan pekerjaan (khususnya untuk menjadi pegawai negri atau pejabat pemerintah) tidak sedikit yang menggunakan jurus kasak-kusuk, gosok sana-sini, cari peluang ampuhnya surat sakti, atau rela menyuap kanan kiri dengan puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Tidak hanya itu, ada yang tega menyodok, menyikut, dan menyikat tidak hanya lawan, tetapi juga kawan untuk suatu pekerjaan. Apakah ini bermoral? Bagaimana jika dkaitkan dengan tujuan pendidikan?
Uji nyali, demikian istilahnya. Nyali para pencari kerja benar-benar teruji. Bernyali besar, yang artinya benar-benar secara ksatria menghadapi persaingan dengan mengerahkan segenap kemampuan ketrampilan juga moral yang tinggi. Atau bernyali kecil, artinya takut menghadapi pesaing lain lantas melakukan cara-cara yang tidak terpuji, memperebutkan peluang dengan tindakan yang bertentangan hati nurani. Siapa pun tidak mungkin mengelabuhi kata hati. Dengan fenomena ini yang jujur akan makmur atau kojur? Kojur atau celaka karena ilmu dan ketrampilannya kalah dengan yang berkemampuan tak seberapa namun tebal kantongnya.
Dengan banyaknya pencari kerja yang tidak tertampung pada sektor pekerjaan yang ada, jelas menimbulkan meluapnya pengangguran terdidik. Ini sangat berbahaya. Terdidik artinya pinter. Orang pinter jika ilmunya tidak digunakan dan tanpa dilandasi keteguhan iman akan menggunakan kepinterannya untuk minteri orang lain. Menipu.
Kenyataan menunjukkan, fakta telah bicara, tindak kriminal sudah menjadi menu keseharian. Modus kejahatan yang satu telah terbongkar, muncul lagi modus lain yang lebih canggih, begitu seterusnya. Kepandaian orang sangat berbahaya bila digunakan tidak pada tempatnya. Demi yang namanya perut orang rela berbuat apa saja. Bila yang halal sulit didapat, tidakkah mungkin menghalalkan segala cara?
Terlalu naif jika kegagalan, kekurangan, dan kesalahan semua ini dibebankan pada pendidikan dalam arti formal. Pendidikan informal dan nonformal juga sangat berperan, bahkan porsi waktunya lebih besar. Mengapa pendidikan formal yang menjadi fokus dalam pencarian kambing hitam? Walaupun sedikit waktu apakah memang lebih besar kontribusinya dalam membentuk kecerdasan akal dan mental seseorang?

Cerdas : Akal dan Budi
Bangsa ini belum cerdas. Demikian kesimpulan awal dari semua yang telah terpapar. Terpapar pada proses dan hasil pendidikan, terpapar pada setiap pernik kehidupan. Cerdas, satu kata namun sangat dalam maknanya dan sangat tidak mudah untuk menggapainya. Dan untuk mencerdaskan bangsa tidak hanya tugas guru di sekolah, juga tugas kita semua sebagai guru di rumah, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, cerdas berarti sempurna perkembangan akal budinya. Akal mempunyai arti daya pikir, pikiran; budi bermakna alat batin yang merupakan perpaduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk, berarti pula tabiat/watak. Jadi mencerdasakan bangsa tidak hanya mencerdaskan daya pikir, daya nalar atau kemampuan intelegensi – yang selama ini umum dimengerti – tetapi juga mempertajam kepekaan naluri dan hati nurani.
Sedikit berandai-andai, seandainya kepandaian setiap warga bangsa Indonesia lebih dari yang sekarang, banyak yang berotak brilian, dan semua saja, sekali lagi, semua saja mempunyai kehalusan budi bahasa, pandai menempatkan diri dan menghargai orang lain, yang kuat membantu yang lemah, pejabat memikirkan rakyat, ditunjang dengan terbukanya banyak lapangan pekerjaan sehingga tidak perlu saling berebut dan menggunakan persaingan yang tidak sehat hanya demi sebuah lowongan pekerjaan. Semua mendapatkan yang diinginkan sesuai dengan porsinya, menjabat sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Mampunya sedikit ya dengan legawa berada di bawah, nanti kan yang di atas membantu. Yang memang mampu memegang amanat sebagai pejabat atau pemimpin ya harus tahu diri dari mana berasal, jadi pemimpin karena ada yang dipimpin, jadi pejabat karena ada rakyat. Wah, seandainya ini benar-benar terjadi, alangkah damainya hidup di negara ini.
Mungkinkah? Rasanya memang tidak mungkin, tetapi setidaknya terus berusaha untuk selalu mendekatinya. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Sebagai langkah awal perlu dibuka dan dikaji lagi apa tujuan pendidikan kita. Sudahkah apa yang dikerjakan sesuai dengan tujuan? Tepatkah strategi yang diambil menuju sasaran? Sudah berimbangkah taraf pencapaian satu tujuan dengan tujuan yang lain? Mementingkan salah satu atau semua harus seiring sejalan?
Bukan berarti rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri jika kita menengok sistem pendidikan dan kehidupan di Jepang. Berdasar pengalaman para guru yang pernah Wisata Pendidikan ke Jepang, pendidikan di negeri matahari tersebut bagus untuk dicermati. Walaupun bukan berarti membandingkan namun pengalaman orang ataupun negara lain dapat dijadikan masukan untuk langkah ke depan. Jika memang baik, bagus, mengapa tidak ditimba?
Siapa pun mengakui kehebatan Jepang dalam hal teknologi. Sudah tak terhitung hasil teknologi Jepang, terutama barang elektronik dan produk otomotif yang telah kita pakai dalam keseharian, sampai-sampai tidak menyadari bahwa itu hasil industri Jepang. Yang mengherankan, negara semaju Jepang dengan teknologi yang sangat canggih dan handal, masih kental dengan adat budaya dan kesopanan serta tidak berlagak kebarat-baratan.
Timbul pertanyaan, bagaimanakah sistem pendidikan di Jepang sehingga menghasilkan teknokrat-teknokrat jempolan yang mampu unjuk keahlian di percaturan dunia, namun tidak tercerabut dari akar budaya bangsa? Apakah semua ini disebabkan oleh kurikulum dan sistem pendidikannya? Atau karena tingginya penghargaan pemerintah kepada para pendidik sehingga mereka sangat berdedikasi dan selalu meningkatkan prestasi?
Kurikulum di Jepang ternyata hanya memuat disiplin-disiplin ilmu yang esensial (IPA, matematika, bahasa), ilmu praktis (ekonomi rumah tangga, komputer), ilmu sosial (sejarah, geografi), pelajaran rekreatif (olahraga, kesenian). Pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti dianggap telah terlaksana dalam setiap keluarga sebagai pendidikan informal. (Bagaimana di Indonesia?)
Di Jepang segala hal yang berhubungan dengan guru, siswa, lembaga dan sistem pendidikan menunjukkan bahwa guru memang sangat penting dan dihargai serta penuh semangat dan berdedikasi tinggi. Setiap menyapa guru, siswa selalu sopan disertai membungkuk -- sikap penghormatan ala Jepang – kemudian tegak lagi. Dengan mata berbinar mereka mendengarkan segala penjelasan guru. Patuh, antusias, aktif bertanya dan berpendapat. Tidak ada seorang siswa pun yang terlihat mengantuk, loyo, acuh tak acuh dan berbicara sendiri di luar konteks pelajaran.
Budaya tertib dan budaya bersih di sekolah sangat tampak dengan kebersihan dan keutuhan segala fasilitas yang ada. Bersih, rapi, tidak ada coretan dari tangan-tangan jahil siswa. Ruang kelas selalu tampak bersih, sehat, karena semua yang masuk kelas harus melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal atau sepatu dalam. Sandal dan sepatu ini pun tidak ada yang berceceran, namun tertata rapi di rak khusus.
Jika ruang kelas tampak bersih dan rapi bukan berarti hanya dibiarkan kosong tanpa hasil karya siswa. Ada berbagai macam informasi, majalah dinding, ataupun hasil karya siswa yang di tempel di sana-sini,namun semua serba teratur, serba rapi (suasana kelas seperti inilah yang sebenarnya diharapkan dalam kurikulum 2004, penerapan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).
Dalam setiap jenjang paling banyak ada 20 siswa. Hal ini sangat memudahkan dalam proses pembelajaran. Siswa lebih terkontrol, dan tugas guru pun lebih ringan dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindaklanjut pembelajaran.
Fasilitas dan media belajar sekolah di Jepang sangat lengkap. Mulai dari ruang belajar yang khusus (ruang komputer, laboratorium, matematika, geografi, kesenian, lapangan olahraga, bahkan ada kolam renang), juga tersedia berbagai alat peraga elektronik maupun nonelektronik dari sekolah maupun buatan guru. Siswa tidak hanya menempati satu ruangan tetapi berganti-ganti tempat dan ruang dengan suasana yang berbeda. Inilah yang membuat siswa betah belajar di sekolah dari jam 08.00 sampai 16.00 selama lima hari dalam seminggu.
Di Jepang dukungan orangtua dan masyarakat terhadap pendidikan sangat tinggi. Orangtualah yang memikirkan apa saja yang dibutuhkan siswa di sekolah. Mereka bekerja sama dengan pihak sekolah, kemudian membiayai segala keperluan anaknya. Jika dipandang perlu orangtua akan mendampingi siswa yang mengalami hambatan dalam belajar, tentu saja atas laporan guru.
Penghidupan guru di Jepang dibandingkan profesi lain sangat mempunyai skala prioritas. Rata-rata gaji guru yang telah mengajar 10 tahun berkisar 260.000 – 300.000 yen (19 – 22 juta rupiah). Penghargaan ini secara otomatis mengangkat harkat dan martabat guru dan menjadikan profesi guru sebagai profesi yang diidam-idamkan, bukan yang disingkirkan, dan tidak sekedar pahlawan tanpa tanda jasa.
Seperti dalam hukum sebab akibat, karena guru di Jepang mendapat tempat dan penghargaan yang sangat layak, mereka mempunyai semangat dan dedikasi yang tinggi. Segenap waktu dicurahkan untuk pembelajaran, hadir 30 menit sebelum pelajaran, pulang 30 menit setelah usai,bahkan tak jarang lembur sampai malam.
Itulah sistem pendidikan di Jepang yang benar-benar dibangun dan dilaksanakan oleh semua pihak yang berkepentingan. Kerja sama antara pemerintah, sekolah, guru, orangtua dan masyarakat sangat harmonis, dan tidak hanya mementingkan kemampuan intelektual namun juga menjunjung tinggi adat istiadat dan budi pekerti yang terpuji.

Gebrakan Dinas Pendidikan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) itulah gebrakan yang dicanangkan Dinas Pendidikan di tahun pelajaran 2004/2005 ini sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya dan untuk menjawab sebagai tantangan yang telah terpapar di awal tulisan ini. Dengan kurikulum 2004 diharapkan dapat mengejar ketinggalan dari negara-negara lain dalam meningkatkan mutu SDM, dan secara akademis kurikulum 1994 memang perlu direvisi dengan beragam alasan.
Menurut catatan Human Devolopment Report tahun 2000 versi UNDP, peringkat HDI (Human Devolepment Index) atau kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan 105 dari 108 negara. Organisasi internasional lain, International Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei. Juga, Third Matemathics and Science Study), lembaga yang mengukur hasil pendidikan dunia, melaporkan bahwa kemampuan siswa SMP kita berada di urutan 34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada di urutan ke 32 dari 38 negara. Untuk mengejar ketinggalan itu perlu diupayakan penataan pendidikan yang bermutu dan terus menerus, dan adaptif terhadap perubahan jaman. Sebagai langkah awal “pengejaran” digunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai pilihan. Kompetensi merupakan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak, yang dapat dilakukan siswa secara terus menerus sebagai perwujudan dari hasil belajar.
Untuk kepentingan sosialisasi KBK ini telah banyak guru, kepala sekolah mapun pengawas yang mengikuti diklat atau demand driven tentang KBK. Tidak hanya sekali, namun ada yang sudah berkali-kali. Selain itu berdasar hasil tes kompetensi guru yang telah dilaksanakan setahun yang lalu, guru yang berkompetensi tinggi (peringkat atas) diundang ke Jakarta untuk mengikuti TOT (Training of Trainers). Sesampai di daerah asal masing-masing diharapkan bersama-sama guru inti masing-masing bidang studi untuk mengimbaskannya kepada guru lain.
Di samping gencar dalam pelatihan untuk peningkatan mutu guru, ada daerah tertentu yang memberikan beasiswa kepada guru untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pemerintah juga tidak tinggal diam, demi kelancaran pelaksanaan program banyak dikucurkan bantuan, ada yang berujud block grant, school grant, atau beasiswa kepada siswa yang berprestasi maupun siswa yang tidak mampu.
Bagaimana hasilnya? Kita tunggu, waktu yang akan berbicara. Yang jelas proses telah berjalan, pro dan kontra itu hal biasa. Yang jelas macam bidang studi, persiapan, pembelajaran, dan penilaian serta tindak lanjut dalam kurikulum sekarang ada perbedaan dengan kurikulum sebelumnya dan diharapkan ada perubahan ke arah yang lebih signifikan. Sekarang ada bidang studi teknologi informasi – yang banyak diisi tentang pembelajaran komputer – ada pembiasaan, ada muatan lokal yang dapat berupa ketrampilan, adat-istiadat dan kebudayaan daerah. Diharapkan pula dalam mengajar guru mengaitkan materi pelajaran dengan imtaq (iman dan taqwa) serta menyisipkan pendidikan budi pekerti.
Perlu digarisbawahi, untuk mencerdasakan anak bangsa guru/pendidik tidak hanya yang berdiri di kelas. Orangtua, masyarakat, pemerintah dan semua aparat juga pendidik dan penentu keberhasilan pendidikan. Dengan menerapkan Trilogi Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani untuk mengiringi pengajaran pengembangan ipteks (ilmu pengetahuan teknologi dan seni) diharapkan dapat mewujudkan sebuah harmoni pendidikan akal budi sebagai solusi nyata mencerdaskan bangsa. Semoga.


Penulis guru SMP 3 Semanu, Gunungkidul

2 comments:

  1. semoga smpn 3 semanu terus maju dan menjadi smp yang terbaik

    ReplyDelete
  2. semoga smpn 3 semanu terus maju dan menjadi smp yang terbaik

    ReplyDelete

Silakan Beri Komentar

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567